Top Ads

SETELAH MENIKAH SATU BULAN DUA MALAM, TIBALAH KEJUTAN ITU!

Kisah ini dipostingkan oleh kakak kelas saya yang sedang fokus studinya di UIM, Universitas Islam Madinah. Fawzan Hizbulloh,alhafidz. Semoga Allah memberkahi setiap langkahnya.

Percakapan antara dua sahabat:

Dia berkata: “Setelah kami menikah satu bulan dua malam, aku mengalami hal yang sangat mengejutkan ….

Aku masuk menemuinya malam ini …

setelah kami menikah satu bulan dua malam ….

aku mendapatinya ….”

Akupun berkata: “Tenangkan dirimu. Bagaimana engkau memilihnya? Apakah sebelumnya engkau telah mengetahui agamanya?”

Dia menjawab: “Aku tidak mengenalnya sedikitpun. Hanya saja saudara-saudaraku merekomendasikannya untukku.

Dia berasal dari kota yang jauh dariku.

Namanya Aisyah. Nama yang langsung membuatku tertarik ketika mereka menyebutnya untukku.

Ketika aku pergi melamarnya, ketika itu sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Aku telah shalat istikharah.

Akupun musafir ke negerinya yang jauh. Aku menahan berat safar di kala puasa.

Aku ketuk pintu rumahnya, keluarlah kakaknya yang telah janjian denganku sebelumnya.

Dia menyambutku dan akupun masuk.

Waktu itu sebelum magrib kurang sedikit, ternyata ayahnya tidak ada di rumah. Mereka bilang ia sedang i’tikaf di masjid.

Subhanallah, ini sesuatu yang baik!

Kami shalat isya’ dan tarawih bersamanya.

Kemudian kakaknya memperkenalkan aku kepadanya: “Ini fulan, yang ingin melamar Aisyah.”

Ayahnyapun menyambutku.

Aku ingin memulai pembicaraan secara rinci namun ayahnya mendahuluiku berkata: “Saat ini, aku tidak bisa berbicara lebih jauh tentang masalah ini.”

“Kenapa?”

Jawabnya: “Waktu tidak mengizinkan.”

“Maksudnya?”

“Aku sedang i’tikaf. Malam-malam ini hanya untuk dzikir, ibadah dan membaca Al-Qur’an.”

Aku katakan: “Kalau begitu izinkan aku melihatnya.”

Dia menjawab: “Itu hakmu dan itu adalah sunnah.”

Lalu dia memintaku agar jangan lagi menyia-nyiakan semenitpun dari waktunya. Lalu dia tersenyum dan beranjak menuju salah satu sisi masjid.

Aku kembali lagi ke rumah mereka.

Di jalan, dengan malu-malu aku bertanya kepada kakaknya: “A..apa..kah ukh..ti Aisyah banyak menghafal Al-Qur’an?”

Dia menjawabku dengan penuh perhatian: “Menghafal itu tidak penting, yang penting adalah mengamalkan Islam.”

Aku tidak tahu, apakah aku harus bertambah bahagia ataukah bertambah heran.

“Aisyah, keluarlah.”

Aku menghadap ke arah kamar … ternyata dia tidak menundukkan pandangannya … namun aku berpura-pura menundukkan pandanganku.

Kakaknya pun langsung menegurku: “Ini bukan tempatnya menundukkan pandangan.”

Kembali aku tak tahu harus bagaimana: bahagia atau bertambah heran.

Tanda tanya dan keheranan tak membuatku lupa memandangnya dengan dalam.

Terus terang dia cantik.

Aku bertanya padanya: “Ukhti, berapakah engkau hafal dari Al-Qur’an?”

Dia menjawab: “Juz ‘Amma.” Kemudian dia pamit dan pergi.

Aku berkata pada kakaknya dengan menahan rasa kesal: “Kenapa dia tidak duduk bersama kita?”

“Agama hanya membolehkanmu untuk melihat” jawabnya.

Dia tidak membiarkanku untuk berfikir, dia langsung berkata padaku: “Jika engkau sudah setuju, tolong jangan sia-siakan waktu kami.”

“Kita belum menyepakati apapun, aku belum mendatangkan keluargaku. Kita juga belum melewati waktu yang cukup untuk berkenalan.”

Dia berkata sambil menundukkan kepalanya: “Tuan, mari kita sepakat dan datangkan keluargamu. Apa yang engkau maksud dengan waktu yang cukup? Apakah engkau datang kesini tanpa ada kepastian dari kami?”

Dia berkata lagi: “Kami tidak ingin engkau susah payah menyiapkan sebuah rumah, kesederhanaan yang perlu. Adapun masalah mahar, engkau tahu bahwa mahar yang sedikit lebih berkah. Cukup datangkan keluargamu sekali, kemudian berikutnya pernikahan. Dengan demikian kami menghemat pengeluaranmu.”

Kakanya yang lain memotong pembicaraan dan berkata: “Mari kita tidur biar kita bisa bangun sebelum subuh untuk tahajjud.”

Aku berkata sambil tersenyum tanpa sebab: “Kalian memiliki televisi kan?”

Dia berkata padaku sambil bercanda: “Jangan keras-keras, biar tidak didengar oleh calonmu.”

Sungguh pemandangan taat beragama yang sempurna.

Tapi, kenapakah tidak bicara tentang segala sesuatunya dengan rinci?

Kenapa semuanya dipercepat?

Mungkin karena tidak mau menyusahkan aku ……

* * *

Akupun datang bersama keluargaku … kecuali ayahku, dia menolak ikut dengan keras, katanya: “Putri-putri pamanmu lebih pantas untukmu.”

Lalu dia berkata sambil menutup pembicaraan: “Pergilah untuk wanita yang maharnya sedikit dan biayanya tidak banyak. Ajaklah ibumu.”

Akupun pergi bersama ibuku dan ibuku membuat Aisyah kagum.

Aku bertanya kepada ibuku: “Apakah Aisyah ada menyinggung tentang hafalan Al-Qur’annya?”

Ibuku menjawab: “Tidak, demi Allah … Cuma aku mendengarnya berkata kepada adik perempuannya: “Malam ini insya Allah aku menyimakmu mengulang ayat-ayat yang mirip dalam surat Al-Ma’idah.”

Bumi ini terasa berputar … dia bilang padaku dia hafal juz Amma. Apa dia hanya berpura-pura di depan ibuku? Atau dia lupa ucapannya padaku?

Aku putuskan untuk mengirim sms ke kakaknya untuk memberikanku jawaban atas segala kebingunganku selama ini, terlebih mereka menolak kami datang untuk kedua kalinya dengan alasan tidak ada tuntutan untuk itu.

Ayahnya berkata kepadaku dengan ringkas: “Anakku, kami ingin ada seorang lelaki yang melindungi putri kami. Kami tidak ingin menekanmu dengan materi dalam hal apapun. Kami juga tidak senang orang sering keluar masuk rumah kami, siapapun itu. Segeralah menikah. Datanglah dan tidak usah memikirkan biaya. Aku telah putuskan untuk mengeluarkan sendiri biaya persiapan Aisyah agar tidak memberatkanmu. Anggaplah itu hadiah dariku.”

Aku berfikir untuk mengulang istikharah … dan akupun melakukannya.

Aku bertanya pada ibuku: “Bagaimana pendapat ibu tentang mempercepat proses pernikahan seperti permintaan mereka?”

Ibuku menjawab: “Tanyalah ayahmu.”

Ayahku berkata: “Anakku, kita sekarang ini hidup di zaman yang penuh dengan keanehan. Sepertinya engkau harus menyegerakannya agar segala keanehan itu lengkap.”

Aku berkata: “Apanya yang aneh? Bukankah kebajikan yang paling baik adalah yang paling segera?”

Ayahku tertawa mengejek: “Kebajikan … yakni keburukan yang nyata.”

Aku berkata: “Tapi kami hanya mengetahui kebaikan dari mereka. Apa tidak cukup ketika ayahnya menawarkan segala sesuatu yang telah kusampaikan kepada ayah?”

Ayahku menjawab dengan penuh kepercayaan diri: “Hal seperti ini tidak dilakukan oleh ayah pengantin wanita melainkan jika ada sesuatu di balik semua itu.”

Aku berkata: “Kenapa hal seperti itu tidak bisa menjadi kebaikan?”

Ayahku menjawab dengan tegas: “Zaman para nabi telah lewat.”

Air mataku meleleh … kebingungan dan kegelisahan merayapiku … apa sebenarnya ini …

Semua keshalihan yang aku lihat …

Akhlak yang aku baca dalam kitab-kitab …

Namun, ini keshalihan yang asing yang tidak biasa kami temui … seakan semuanya berlebihan.

Ayahku yakin ada sesuatu di balik keanehan ini.

Namun aku yakin dengan Aisyah … selama ayahku tidak menentang dengan keras, ini pertanda aku bisa melanjutkan proses.

Namun, ini butuh istikharah lagi …

* * *

Pada malam pengantin, aku masuk menemuinya …

Setelah perjalanan yang melelahkan bersama …

Aku mengucapkan salam … lalu ia membalasnya sambil tersenyum …

Sungguh dia mampu menyihir … dia ceria bersama bekas-bekas perjalanan yang melelahkan …

Kuletakkan telapak tanganku di ubun-ubunnya:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فَطَرْتَهَا عَلَيْهِ . . .

Aku mendengarnya berkata:

جَبَلْتَ …

Seakan dia mengoreksi bacaanku … akupun meralat kesalahanku … lalu aku menyempurnakan doa nabawi tersebut agar aku menerapkan sunnah dengan sempurna.

Kuturunkan tanganku …

Setelah doa tersebut, kalimat pertama yang meluncur dariku adalah sebuah pertanyaan lucu …

“Berapa engkau hafal dari Al-Qur’an?”

“Semuanya, Alhamdulillah” jawabnya.

Akupun berkata dengan nada protes seolah aku mencelanya: “Bukankah dulu engkau bilang engkau hafal juz Amma?”

Dia menjawab: “Aku hanya menyindir dan aku tidak bohong. Hari itu adalah hari lamaran, aku tidak tertarik untuk menghiasi diriku di hadapanmu.”

Aku gemetar dan dia memegang tanganku lalu berkata: “Malam ini bukan malam untuk menyalahkan dan mencela … mari

وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ …

* * *

Sebulan berlalu …

Kami tidur setiap malamnya setelah isya’ atau kami bergadang beberapa waktu …

Kami tidur hingga dekat waktu subuh …

Jarak antara kami bangun tidur dengan waktu subuh hanya seukuran waktu wudhu’.

Selama itu tidak pernah dia shalat malam ataupun puasa sunnah … tidak pula shalat sunnah …

Kesibukannya hanya berhias, mempercantik diri, memakai wewangian …

Tidak pernah sekalipun dia membangunkanku untuk shalat malam …

Tidak pernah sekalipun dia mengusulkan agar aku menjenguk ayahku atau saudari-saudariku atau kerabat-kerabatku …

Hingga tiba malam itu …

* * *

Aku telah melewati cuti yang diberikan dan aku harus pulang …

Lalu aku dikejutkan oleh sebuah tugas yang mengharuskanku musafir selama dua hari …

Dan aku harus patuh …

Aku beritahu dia tentang kepergianku …

Namun aku bilang padanya bahwa bisa jadi aku pergi tiga hari, agar jika aku terlambat dia tidak gelisah. Namun ternyata tugasku selesai tepat waktu dan tidak butuh waktu tambahan.

Aku pulang dan sampai di rumahku sekitar satu jam setelah isya’.

Aku mengetuk pintu dengan lembut, namun tidak ada orang …

Aku berkata dalam hati: “Mungkin dia tidur.” Aku tidak ingin membuatnya terbangun.

Aku memasukkan kunci ke lubangnya dengan pelan …

Lalu memutarnya dengan hati-hati …

Aku membuka pintu dan masuk …

Aku membaca bismillah dan mengucapkan salam dengan lirih tanpa bisa didengar orang lain …

Aku tutup pintu dengan tenang …

Lalu aku segera menuju kamar tidurku …

Ketika aku berjalan mendekati kamar tidur aku mendengar suara nafasnya yang seolah tengah menghembuskan nafas-nafas terakhir … siselingi tangisan dan isakan …

Apa yang sedang terjadi?!

Aku mendekati pintu kamar … ternyata tidak tertutup rapat …

Aku memutar gagang pintu …

Ketika aku masuk aku menyaksikan sesuatu yang tidak aku sangka-sangka … pemandangan yang tidak terlintas dalam benakku …

Aisyah … istriku … tengah sujud menghadap pintu …

Bersimpuh di hadapan Allah …

Menangis di hadapan-Nya …

Menangis dan terisak …

Berdoa dan terguncang …

Dia terus sujud … lama …

Kemudian dia bangkit … pintu di arah kiblat … dia menyadari keberadaanku .. lalu dia sujud kembali namun tidak memanjangkannya … lalu dia duduk dan salam …

Dia segera menujuku, menyambutku, sedang aku tak kuasa menahan tangisku …

Betapa aku anggap kerdil diriku di hadapan wanita yang menangis dalam sujudnya yang tengah mendekatiku ini …

Dia letakkan tangannya yang lembut di dadaku … lalu kami duduk bersama … seolah aku terlahir kembali …

Suaranya yang lembut menyadarkanku: “Kemana saja engkau pergi?”

“Aku pergi demimu … aku pergi menujumu … namun sungguh aku takkan pernah pergi darimu.”

Kupandangi ia … wajah yang menyihir dan bersinar …

“Aisyah, semoga Allah memberkahimu … akhlak yang aku saksikan malam ini tidak pernah aku saksikan selama sebulan ini. Hingga berbagai prasangka muncul di benakku.”

“Akhlak yang mana?”

“Shalat malammu … tangisanmu … dan …”

Dia memotongku: “Suamiku tercinta, apakah engkau menungguku shalat malam di malam-malam pengantin kita? Sesungguhnya puncak ibadahku kepada Allah pada masa yang telah lewat ini adalah aku mendekatkan diri kepadamu, aku berhias untukmu, aku mempercantik diri untukmu … agar engkau tidak melihat bagian diriku melainkan engkau menyukaiku karenanya. Inilah ibadah paling utama yang bisa dilakukan oleh seorang istri di masa awal pernikahannya.”

“Tapi … tapi, engkau tidak pernah menyuruhku untuk ziarah atau silatur rahim selama ini.”

Dia tersenyum: “Bagaimana aku bisa menganjurkanmu untuk itu sedangkan syaitan mengalir bersama aliran darah dalam tubuh manusia …

aku tak mau syaitan menggodamu dan mengatakan bahwa aku hanya ingin jauh darimu meski hanya sesaat.

Namun ketika engkau ziarah dan berbuat baik pada kerabatmu aku merasa bahagia dalam hati dengan perbuatanmu. Namun aku tidak menampakkannya.

Ketika engkau musafir aku menyadari bahwa kehidupan biasa telah dimulai. Maka akupun kembali menjalani hidupku seperti biasa seperti ketika aku belum menikah.

Dan mulai sekarang … bersiap-siaplah untuk bangun shalat malam …” (sambil dia tertawa penuh kasih).

Jika tidak … aku akan menyiram wajahmu yang tampan dengan air dalam gelas ini.”

Dia menarik nafas dalam-dalam …

Lalu melanjutkan ucapannya: “Tapi aku punya kritikan atasmu …”

“Apa itu?” kataku.

“Ketika engkau musafir dan setelah itu kembali dengan selamat … usahakan menemui kami di siang hari, bukan di malam hari.”

“Kenapa?”

Dia berkata: “Inilah adab nabawi bagi orang yang musafir.

Bukankah Nabi g bersabda:

إِذَا رَجَعَ أَحَدُكُمْ مِنْ سَفَرِهِ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً حَتَّى تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ

“Jika salah seorang dari kalian pulang dari safarnya, maka janganlah dia menemui istrinya pada malam hari, agar dia bisa berhias terlebih dahulu.”

Aku berkata – dan sungguh hadits itu telah membuatku malu – : “Wanita yang rambutnya kusut dan wanita yang ditinggal pergi suaminya?”

Dia menjawab: “Ya. Yaitu wanita yang tidak memperhatikan penampilan dirinya pada waktu suaminya pergi. Inilah yang harus dilakukan oleh seorang istri yang shalihah dan amanah. Dia hanya berhias untuk suaminya. Ketika suaminya pergi dia tidak berhias sama sekali karena tidak ada faktor pendorongnya. Seandainya suami pulang siang, tentu dia punya waktu untuk berhias.”

Aku menghela nafas … aku berkata dalam hati: Kini engkau lebih berkesan bagiku dari segala yang indah … aku merasa telah memiliki harta paling berharga … ya … sebaik-baik perhiasan dunia … inilah buah dari sebuah keluarga yang lebih memilih untuk istiqamah meskipun dianggap aneh oleh orang-orang …

* * *

Sahabatku berkata padaku: “Sejak hari itu … sejak 20 tahun yang lalu … aku sangat bahagia … aku berada dalam kebaikan yang banyak … keturunan yang baik, dimana ibu mereka mendidik mereka dengan baik untuk taat dan ikhlas …”

Aku memotongnya dengan berkata:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنِ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَإِمَامًا

Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

* * *

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا وَجَمِيْعَ شَبَابِ الْمُسْلِمِيْنَ الزَّوْجَاتِ الصَّالِحَاتِ وَارْزُقْ اَللَّهُمَّ جَمِيْعَ بَنَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ اْلأَزْوَاجَ الصَّالِحِيْنَ

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

0 Response to "SETELAH MENIKAH SATU BULAN DUA MALAM, TIBALAH KEJUTAN ITU!"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel